ADS

Benarkah Daya Beli Masyarakat Menurun ?

Penjualan menurun ? Apakah benar karena daya beli masyarakat menurun ?
Banyak sekali keluhan dari teman-teman sales dan marketing dari perusahaan besar mengenai pencapaian sasaran mereka. Dari bulan ke bulan mereka tidak sanggup mencapai sasaran penjualan. Banyak UMKM pun mengeluhkan hal yang sama, bahkan ketika saya mencoba mengorek keterangan dari beberapa counter pengiriman barang, mereka juga mencicipi penurunan omzet.

Apa yang terjadi akhir-akhir ini? Beberapa pembicaraan mengarah kepada penurunan daya beli masyarakat, tetapi kita tidak sanggup eksklusif menyampaikan bahwa semua ini disebabkan oleh penurunan daya beli sebelum kami mendapat sumber-sember yang mendukung atau penelitian atas hal tersebut.

Syukur di siang ini, ada seorang sahabat yang memperlihatkan share beberapa pendapat dari para andal yang sanggup menjadi perihal bagi teman-teman UMKM semua.

Analisa Tentang "Turunnya Daya Beli" Yang Paling Masuk Akal Menurut Pakar (Terutama di Kota-Kota Besar).
 
 
Sumber: Leiusre Economy, By Yuswohady
The Phenomenon
 
Dalam 3 bulan terakhir muncul diskusi publik yang menarik mengenai fenomena turunnya daya beli konsumen kita yang ditandai dengan sepinya Roxi, Glodok, Matahari, Ramayana, Lotus, bahkan terakhir Debenhams di Senayan City.

Anggapan ini eksklusif dibantah oleh ekonom karena dalam lima tahun terakhir pertumbuhan riil konsumsi masyarakat robust di angka sekitar 5%. Kalau dilihat angkanya di tahun ini, pertumbuhan ekonomi hingga triwulan III-2017 masih cukup baik sebesar 5,01%. Perlu diingat bahwa konsumsi masyarakat (rumah tangga) masih menjadi kontributor utama PDB kita mencapai 54%.

Sebagian pakar menyampaikan sepinya gerai ritel konvensional tersebut disebabkan oleh beralihnya konsumen ke gerai ritel online menyerupai Tokopedia atau Bukalapak. “Gerai-gerai tradisional di Roxi atau Glodok telah terimbas gelombang disrupsi digital,” begitu kata pakar.

Kesimpulan ini pun misleading karena penjualan e-commerce hanya menyumbang 1,2% dari total GDP kita, dan hanya sekitar 0,8% (2016) dari total penjualan ritel nasional. Memang pertumbuhannya sangat tinggi (eksponensial) tapi magnitute-nya belum cukup siknifikan untuk sanggup membuat gonjang-ganjing industri ritel kita.

Kalau konsumen tak lagi banyak belanja di gerai ritel konvensional dan masih sedikit yang belanja di gerai online, maka pertanyaannya, duitnya dibelanjakan ke mana?

The Consumers

Tahun 2010 untuk pertama kalinya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia melewati angka $3000. Oleh banyak negara termasuk Cina, angka ini “keramat” karena dianggap sebagai ambang batas (treshold) sebuah negara naik kelas dari negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah (middle-income country).

Ketika melewati angka tersebut, sebagian besar masyarakatnya yaitu konsumen kelas menengah (middle-class consumers) dengan pengeluaran berkisar antara $2-10 perhari. Di Indonesia, sekarang konsumen dengan rentang pengeluaran sebesar itu telah mencapai lebih dari 60% dari total penduduk.

Salah satu ciri konsumen kelas menengah ini yaitu bergesernya pola konsumsi mereka dari yang awalnya didominasi oleh makanan-minuman menjadi hiburan dan leisure. Ketika semakin kaya (dan berpendidikan) pola konsumsi mereka juga mulai bergeser dari “goods-based consumption” (barang tahan lama) menjadi “experience-based consumption” (pengalaman). Experience-based consumption ini antara lain: liburan, menginap di hotel, makan dan nongkrong di kafe/resto, nonton film/konser musik, karaoke, nge-gym, wellness, dan lain-lain.

Pergeseran inilah yang sanggup menjelaskan kenapa Roxi atau Glodog sepi. Karena konsumen kita mulai tak banyak membeli gadget atau elektronik (goods), mereka mulai memprioritaskan menabung untuk tujuan liburan (experience) di tengah atau final tahun. Hal ini juga yang menjelaskan kenapa mal yang berkonsep lifestyle dan masakan (kafe/resto) menyerupai Gandaria City, Gran Indonesia, atau Kasablanka tetap ramai, sementara yang hanya menjual bermacam-macam produk (pakaian, sepatu, atau peralatan rumah tangga) semakin sepi.

The Shifting

Nah, rupanya pola konsumsi masyarakat Indonesia bergeser sangat cepat menuju ke arah “experience-based consumption”. Data terbaru BPS menunjukkan, pertumbuhan pengeluaran rumah tangga yang terkait dengan “konsumsi pengalaman” ini meningkat pesat. Pergeseran pola konsumsi dari “non-leisure” ke “leisure” ini mulai terlihat positif semenjak tahun 2015.

Untuk kuartal II-2017 misalnya, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,95% dari kuartal sebelumnya 4,94%. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini dinilai melambat karena konsumsi rumah tangga dari sisi kuliner dan minuman, konsumsi pakaian, bantalan kaki, perumahan dan perlengkapan rumah tangga, (goods-based) hanya tumbuh tipis antara 0,03-0,17%. Sementara konsumsi restoran dan hotel (experience-based) melonjak dari 5,43% menjadi 5,87%. “Jadi shifting-nya yaitu mengurangi konsumsi yang tadinya non-leisure untuk konsumsi leisure,” ucap Ketua BPS, Suhariyanto.

Studi Nielsen (2015) memperlihatkan bahwa milenial yang merupakan konsumen secara umum dikuasai di Indonesia dikala ini (mencapai 46%) lebih royal menghabiskan duitnya untuk kebutuhan yang bersifat lifestyle dan experience seperti: makan di luar rumah, nonton bioskop, rekreasi, juga perawatan tubuh, muka, dan rambut.

Sementara itu di kalangan milenial muda dan Gen-Z sekarang mulai muncul gaya hidup minimalis (minimalist lifestyle) dimana mereka mulai mengurangi kepemilikian (owning) barang-barang dan menggantinya dengan kepemilikan bersama (sharing). Dengan bijak mereka mulai memakai uangnya untuk konsumsi pengalaman seperti: jalan-jalan backpacker, nonton konser, atau nongkrong di coffee shop.

Berbagai fenomana pasar berikut ini semakin meyakinkan makin pentingnya sektor leisure sebagai mesin gres ekonomi Indonesia. Bandara di seluruh tanah air ramai luar biasa melebihi terminal bis. Hotel budget di Bali, Yogya, atau Bandung full booked tak hanya di hari Sabtu-minggu, tapi juga hari biasa. Tiket kereta api selalu sold-out. Jalan tol antar kota macet luar biasa di “hari kejepit nasional”. Destinasi-destinasi wisata gres bermunculan (contoh di Banyuwangi, Bantul atau Gunung Kidul) dan makin ramai dikunjungi wisatawan.

Sektor pariwisata sekarang ditetapkan oleh pemerintah sebagai “core economy” Indonesia karena kontribusinya yang sangat siknifikan bagi perekonomian nasional. Saat ini sektor pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar sehabis kelapa sawit dan diproyeksikan 2-3 tahun lagi akan menjadi penyumbang devisa nomor satu. Ini merupakan yang pertama dalam sejarah perekonomian Indonesia dimana pariwisata menjadi tulang punggung ekonomi bangsa.

Tak hanya itu, kafe dan resto berkonsep experiential menjamur baik di first cities maupun second cities. Kedai kopi “third wave” sekarang sedang happening. Warung modern ala “Kids Jaman Now” menyerupai Warunk Upnormal bergairah membuka cabang. Pusat kecantikan dan wellness menjamur kolam jamur di ekspresi dominan hujan. Konser musik, bioskop, karaoke, hingga pijat refleksi tak pernah sepi dari pengunjung. Semuanya menjadi menunjukan pentingnya leisure sebagai lokomotif perekonomian Indonesia.

The drivers

Kenapa leisure-based consumption menjadi demikian penting bagi konsumen dan mereka mau menyisihkan sebagian besar pendapatan untuk liburan atau nongkrong di kafe/mal? Setidaknya ada beberapa drivers yang membentuk leisure economy.

#1. Consumption as a Lifestyle. Konsumsi sekarang tak hanya melulu memenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan, papan. Konsumen kita ke Starbucks atau Warunk Upnormal bukan sekedar untuk ngopi atau makan, tapi juga dalam rangka mengekspresikan gaya hidup. Ekspresi diri sebagai potongan inhenren dari konsumsi ini terutama didorong maraknya media umum terutama Instagram.

#1. From Goods to Experience. Kaum middle class milennials kita mulai menggeser prioritas pengeluarannya dari “konsumsi barang” ke “konsumsi pengalaman”. Kini mulai menjadi tradisi, rumah-rumah tangga mulai berhemat dan menabung untuk keperluan berlibur di tengah/akhir tahun maupun di “hari-hari libur kejepit”. Mereka juga mulai banyak menghabiskan waktunya untuk bersosialisasi di mal atau nongkrong di kafe sebagai potongan dari gaya hidup urban.

#2. More Stress, More Travelling. Dari sisi demand, beban kantor yang semakin berat dan lingkungan kerja yang sangat kompetitif menyebabkan tingkat stress kaum pekerja (white collar) kita semakin tinggi. Hal inilah yang mendorong kebutuhan leisure (berlibur, jalan-jalan di mal, atau dine-out seluruh anggota keluarga) semakin tinggi.

#3. Low Cost Tourism. Dari sisi supply, murahnya tarif penerbangan (low cost carrier, LCC) yang diikuti murahnya tarif hotel (budget hotel) membuat apa yang disebut: “low cost tourism”. Murahnya biaya berlibur menyebabkan usul melonjak tajam dan industri pariwisata tumbuh sangat pesat beberapa tahun terakhir.

#4. Traveloka Effect. Momentum leisure economy semakin menemukan momentumnya ketika murahnya transportasi-akomodasi kemudian diikuti dengan kemudahan dalam mendapat informasi penerbangan/hotel yang terbaik/termurah melalui aplikasi menyerupai Traveloka. Kemudahan ini telah memicu minat luar biasa dari seluruh lapisan masyarakat untuk berlibur. Ini yang saya sebut Traveloka Effect.  “Welcome to the leisure economy.”
 
Demikian apa yang sanggup saya share mengenai analisa menurunnya daya beli masyarakat, biar sharing ini bermanfaat bagi para pelaku UMKM di Jawa Tengah. 

Subscribe to receive free email updates:

ADS