Menghitung Asset Intangible |
Belajar dengan mengamati proposal-proposal investasi teman-teman UMKM yang sedang mencari investasi, kami banyak medapati bahwa banyak di antara mereka mengabaikan nilai dari intangible asset mereka. Intangible Asset yaitu aktiva tidak berwujud yang didefinisikan atau diidentifikasi sebagai aset non-moneter yang tidak sanggup dilihat, disentuh atau diukur secara fisik, tetapi diciptakan melalui waktu dan usaha.
Misalnya mereka tidak memperhitungkan nilai dari ilham bisnis, research and development, upaya dan perjuangan mereka untuk hingga ke bisnis tersebut dan perjalanan perjuangan mereka selama beberapa tahun sebelumnya. Dengan kondisi ini maka, bisnis yang seharusnya dominani kepemilikannya yaitu milik mereka menjadi bergeser ke arah investor dengan hanya nilai investasi yang kecil. Hal ini terang akan merugikan si pemilik bisnis, dan investor sangat diuntungkan dengan ketidakpahaman pemilik bisnis terhadap asset intangible yang mereka miliki.
Untuk membantu para pemilik bisnis, maka pada kesempatan ini kami ingin sedikit sharing terkait bagaimana memperhitungkan intangible asset dalam bisnis kita.
Ada dua jenis bentuk utama:
- Bersifat aturan (seperti diam-diam dagang (misal daftar pelanggan), paten, copyright, dan merek).
- bersifat kompetitif (seperti pengalaman, acara kolaborasi, reputasi, budaya organisasi, dan kepuasan pelanggan).
Menghitung asset tak berwujud tidak semudah menghitung asset berwujud. Perlu aneka macam perkiraan dan model.
Model pertama misalnya, asset tak berwujud itu dihitung dari metode perolehan.
Biaya paten, copyright atau brand sanggup diketahui secara eksklusif alasannya ada daftar tarifnya dari Kantor HKI. Tetapi riset atau perjuangan sebelum ada sesuatu yang sanggup dipatenkan dsb itu lah yang harus diasumsikan. Kalau riset untuk sebuah model mesin yang lebih efisien perlu 1 tahun, dan dilakukan oleh 5 peneliti, maka sanggup diasumsikan berapa honor peneliti, alat, dan materi yang diharapkan hingga mesin itu layak paten. Mungkin jika gajinya rata-rata sekitar Rp. 10 juta/bulan, maka sanggup diasumsikan, riset itu akan memakan biaya Rp 10 jt x 5 orang x 12 bulan = Rp. 600 juta. Ditambah dengan alat dan materi yang digunakan selama eksperimen dan fase prototype, maka kira-kira habis biaya Rp. 1 Milyar. Makara inilah nilai paten tersebut dari sisi metode perolehan. Hal yang sama juga untuk sebuah pembuatan software, yang nanti produknya sanggup dijual secara eceran pada lisensi copyrightnya.
Tetapi untuk merek atau diam-diam dagang tentu menghitung nilai dengan metode perolehan ini agak susah. Nilai merek dan diam-diam dagang itu diperoleh nyaris semenjak perusahaan itu berdiri. Kalau perusahaan itu telah berusia 10 tahun, berapa kira-kira nilainya?
Ternyata kasus kedua ini lebih menyerupai pada intangible asset yang bersifat kompetitif. Merek sangat tergantung pada pengalaman, reputasi dsb. Dan ini hanya sanggup didekati dengan metode potensi kapitalisasi.
Biasanya cara menghitungnya yaitu dengan menghitung dari nilai pendapatan real perusahaan itu, trendnya (naik/turun), serta pangsa pasar yang masih sanggup dijangkau. Bila perusahaan itu contohnya mempunyai pendapatan tahunan Rp. 1 Trilyun dengan ekspresi dominan tumbuh 10%, maka sanggup diasumsikan bahwa nilai pertumbuhan itu terjadi alasannya asset intangible jenis kedua ini. Kalau perusahaan itu listing di pasar modal – lepas dari soal oke atau tidak dengan model bursa saham menyerupai ini – maka sesungguhnya nilai saham juga mencerminkan asset intangiblenya. Sebuah perusahaan yang reputasinya bagus, akan berpotensi meningkat pendapatannya di masa depan, sehingga nilai sahamnya juga akan meningkat. Sebaliknya, sebuah perusahaan yang reputasinya jatuh, contohnya alasannya kasus penipuan, nilai sahamnya akan anjlog, bahkan sanggup hingga nol sama sekali, sekalipun bergotong-royong mereka masih punya asset tangible menyerupai gedung, peralatan dsb. Ini alasannya tidak ada yang mau beli. Hal ini pernah terjadi pada perusahaan raksasa Amerika menyerupai Enron atau Worldcom.
Jadi berapa kira-kira nilai asset intangible jenis ini? Serahkan saja pada pasar, mereka berani menghargai berapa? Karena mereka niscaya berharap akan menikmati laba yang lebih tinggi. Microsoft atau Google yaitu referensi faktual perusahaan yang nilainya didominasi oleh asset intangible. Satu software sederhana dari Microsoft mungkin sanggup dihitung dengan metode perolehan mempunyai nilai US$ 1 juta. Jika lisensi software itu dijual secara eceran seharga US$ 10 / copy, maka investasi itu gres balik modal sesudah terjual 100.000 copy. Tetapi potensi kapitalisasi pasar Microsoft telah sedemikian besar. Di seluruh dunia diperkirakan ada lebih dari 500 juta computer memakai sistem operasi buatan Microsoft. Kalau 1% saja dari mereka tertarik untuk membeli software sederhana tadi, maka itu sudah 5 juta x US$ 10 = US 50 juta. Makara 50 kali dari biaya perolehannya. Tentu saja tidak semua perusahaan sanggup menggandakan metode perhitungan ini, alasannya tidak semua mempunyai reputasi dan pangsa pasar sebesar Microsoft.
Pada mereka yang mempunyai jasa membesarkan perusahaan dengan asset intangible, contohnya alasannya ide-ide jeniusnya, atau jejaring pasar yang ia buka, perusahaan sering menunjukkan share secara langsung, sehingga setiap ada laba mereka akan sanggup bagiannya, sekalipun mereka tidak menyerahkan modal (uang) kepada perusahaan. Sedang pada mereka berjasa tetapi juga ikut andil secara fisik contohnya dalam bentuk uang, penghargaannya sanggup berupa pembagian laba yang lebih besar dari sekedar proporsi andil fisiknya. Ini terang sesuatu yang fair.
Bagaimana jika ini diaplikasikan pada pribadi, bukan perusahaan?
Pada orang pribadi, kedua jenis asset intangible itu mungkin dimiliki. Tetapi mungkin asset intangible yang bersifat kompetitif yang paling mungkin dimiliki semua orang. Ketika orang dikenal baik reputasinya atau pengalamannya, maka faktanya “pasar” akan mengakuinya dengan “menawar”-nya dalam kompetisi dengan orang lain yang ingin mengambil manfaat dari orang itu. Seorang ilmuwan yang terbukti unggul pengalamannya, akan ditawari bekerja di sana-sini, atau setidaknya kebanjiran order di sana-sini, sehingga boleh jadi ia akan menentukan pihak yang mempunyai rekam jejak lebih tinggi penghargaannya. Ini bukan kapitalisasi ilmu, tetapi suatu prosedur pasar yang wajar. Sedangkan orang yang asset intangible-nya tidak sesuai, justru akan ditinggalkan pasar dikala ia minta tarif terlalu tinggi.
Bagaimana jika ini diaplikasikan pada pribadi, bukan perusahaan?
Pada orang pribadi, kedua jenis asset intangible itu mungkin dimiliki. Tetapi mungkin asset intangible yang bersifat kompetitif yang paling mungkin dimiliki semua orang. Ketika orang dikenal baik reputasinya atau pengalamannya, maka faktanya “pasar” akan mengakuinya dengan “menawar”-nya dalam kompetisi dengan orang lain yang ingin mengambil manfaat dari orang itu. Seorang ilmuwan yang terbukti unggul pengalamannya, akan ditawari bekerja di sana-sini, atau setidaknya kebanjiran order di sana-sini, sehingga boleh jadi ia akan menentukan pihak yang mempunyai rekam jejak lebih tinggi penghargaannya. Ini bukan kapitalisasi ilmu, tetapi suatu prosedur pasar yang wajar. Sedangkan orang yang asset intangible-nya tidak sesuai, justru akan ditinggalkan pasar dikala ia minta tarif terlalu tinggi.
Bahkan hal ini juga menyangkut hal yang sangat pribadi. Seorang yang ingin menikah, baik pria maupun perempuan, bergotong-royong lebih membawa asset intangible-nya dari yang tangible. Karena asset tangible menyerupai uang, kendaraan atau rumah sanggup hilang, binasa kena bencana, dirampok orang, atau habis untuk biaya berobat. Tetapi asset intangible menyerupai pengalaman, kejujuran, jejaring teman-temannya, akan sanggup menciptakan asset tangible baru. Mungkin pengalaman akan menyelamatkannya dari bencana. Mungkin kejujuran akan membuatnya dipercaya untuk menjalankan bisnis banyak orang. Dan mungkin teman-temannya yang berada di mana-mana akan menghemat banyak hal dikala ia membutuhkan sesuatu.
Di tingkat negara, asset intangible ini juga lebih menentukan. Singapura atau Jepang yaitu negara dengan asset tangible yang minim. Mereka nyaris tidak punya sumberdaya alam. Tetapi bangsa mereka secara kolektif mempunyai asset intangible yang luar biasa, menyerupai etos kerja, profesionalitas, inovasi, jejaring pasar, nyaris bebas korupsi dan sebagainya. Hal sama dimiliki oleh generasi muslim terdahulu dikala mereka mulai membangun Daulah Khilafah. Mereka lebih bermodal kepada asset intangible daripada asset tangible. Hanya makin usang asset intangible ini makin jarang dirawat, sehingga balasannya “menguap” bersama waktu. Kita memang memerlukan waktu yang panjang untuk sanggup mengembalikan asset intangible ini. Tetapi itu harus dimulai. Kita sanggup mulai untuk tidak lagi membanggakan diri dengan sumberdaya alam kita ataupun materi yang kita miliki. Tetapi kita berintrospeksi pada asset-asset intangible yang kita miliki, etos kerja, profesionalitas, inovasi, jejaring, bebas korupsi.
Semoga info di atas sanggup membantu teman-teman UMKM yang sedang mengajukan anjuran investasi dalam memperhitungkan asset itangible mereka. Sukses!